Info&tanya jawab

Senin, 13 Juni 2022

Desa Ilepati: Sebuah Kesan Pengunjung

Desa Ilepati sebenarnya bukan desa yang asing bagi saya. Sejak SD tahun tahun awal (sekitar tahun 1995) saya sudah berkunjung ke desa ini. Momen itu terjadi saat ada upacara adat cukur rambut salah satu anak dari desa Baya oleh neneknya di kampung Watodei, desa Ilepati.
Waktu itu kami pergi dengan berjalan kaki melintasi bukit dari Pehanggetung, Ritawolo, Era, dan mendaki ke Watodei. Karena masih bocah, saya tentu tidak ingat banyak peristiwanya. Yang saya ingat, rombongan kami tiba pada sore hari, upacara berlangsung sore itu dan kami pulang hari berikutnya.
Beberapa tahun kemudian, penulis berkunjung lagi ke Ilepati. Kali ini di dusun Riangpetung. Saat itu sedang berlangsung pembangunan SDI Riangpetung oleh kontraktor CV. Fany Sayang dari Lite. Kelompok tukang batu kala itu didatangkan dari desa Baya, termasuk orangtua saya dan beberapa kerabat lain. Namun saya berangkat ke sana bersama kawan kelas asal Riangpetung yang sama-sama sedang bersekolah di SMP Waiwadan. Kami berangkat Sabtu, dan Minggu petang harus sudah kembali pulang untuk siap bersekolah di hari Senin.
Kami melakukan perjalanan ini dengan menunggang kuda menuju Riangpadu, dan kemudian tiba di Riangpetung. Jarak yang kami tempuh tidak terlalu jauh, sekitar enam kilometer dari simpang Sawa. Meskipun begitu, kondisi jalan yang belum terlalu baik membuat perjalanan terasa jauh karena butuh waktu yang lebih lama. Sebagian jalan diperkuat oleh perkerasan batu hasil padat karya natura tempo dulu.
Menurut teman seperjalanan saya, kami bisa menempuh perjalanan yang lebih singkat andaikata ikut jalan potong di bukit timur. Namun kami memilih ikut jalan utama yang sampai saat ini masih dilalui. Rute ini memang benar-benar mendaki terutama selepas kali kecil di pertengahan jalan menuju Riangpadu. Jalur jalan waktu itu rutin dilayani oleh oto Ade Irma dari Baniona.
Jelang masuk areal Riangpadu, di sekitar hutan yang terdapat banyak pohon waru, tampak sejumlah pria sedang berburu monyet. Kami beristirahat sejenak di sini menyaksikan para pemburu mengepung monyet, lalu melanjutkan perjalanan. "Ini jalan menuju Riangpadu," kata teman saya ketika tiba di sebuah simpang tiga.
Setelah simpang tiga, perjalanan hampir mencapai Riangpetung dengan kondisi jalan cenderung rata. Namun di situ kami menemukan oto Ade Irma yang macet dan tak bisa lagi meneruskan perjalanan mengantarkan penumpang ke Riangpetung. Konon, mesin dapat dinyalakan dan beroperasi, tetapi roda tidak dapat berputar. Kemungkinan kerusakan ada pada kopling, transmisi, atau gardan. Yang jelas, sang sopir sudah meninggalkan kendaraan yang terparkir itu sementara para konjak yang mendadak jadi mekanik sibuk mengutak-atik kendaraan.
Banyak remaja melintas di jalanan itu menyambut ibu mereka yang pulang dari pasar Waiwadan. Beberapa remaja sengaja menebak-nebak asal usul saya yang menjadi tamu sehari di desa mereka. Mereka mengatakan dengan keras bahwa saya tentulah berasal dari Kebang Botan, kampung tetangga. Namun teman seperjalanan saya mengatakan bahwa tebakan mereka keliru dan tetap menutup mulut tentang asal kampung halaman saya.
Kesan saya, kondisi desa di sekitar sini cenderung sama dengan desa asal saya. Tanahnya subur dan banyak terdapat tanaman komoditi dagang. Yang membedakan dengan desa saya, di sini cukup banyak ditanam pinang yang merupakan komoditi andalan. Pada saat musim pinang ini, karena kulit pinang dibuang di lahan terbuka dan banyak menampung air, maka populasi nyamuk menjadi meningkat. Kebetulan saat itu sedang musim panen pinang.
Saya tiba di lokasi pekerjaan konstruksi gedung sekolah menjelang sore setelah sempat singgah di rumah teman saya. Pekerjaan pembangunan sedang berlangsung. Fondasi sudah selesai dikerjakan, sementara pekerjaan hari itu adalah menganyam besi beton untuk tiang dan slof. Pekerjaan rata-rata masih manual dan memakan waktu. Untuk memotong besi lonjor misalnya, mereka masih menggunakan gergaji besi. Tidak tersedia gerinda potong atau pisau potong dengan tuas.
Saya beristirahat sejenak dan mendengarkan cerita dari para pekerja itu. Mereka semua datang dengan perjalanan melintasi bukit via Ritawolo, Era dan Watodei. Boss mereka hanya sesekali datang untuk melihat progres pekerjaan serta menyuplai bahan bangunan dan perbekalan.
Gedung sekolah kala itu cukup terpisah dari hunian dengan dikelilingi tanaman kemiri dan pinang. Beberapa kali dalam seminggu ada warga setempat yang datang menyuplai sayuran dan kelapa tua untuk para pekerja. "Kami mau bayar tapi mereka tidak mau" cerita para tukang mengisahkan kebaikan warga setempat.
Mereka cerita pula bahwa semua dari mereka disapa "Pak" oleh warga. Hal itu terasa asing di telinga beberapa tukang yang belum menikah. Mereka lebih sreg disapa"Edo" atau langsung dipanggil dengan nama masing-masing. Mereka cerita juga kalau warga setempat tidak percaya kalau beberapa dari mereka belum menikah. Memang rata-rata usia menikah di desa asal saya adalah sekitar usia tiga puluhan, dan seringkali sejumlah pria dewasa menunda pernikahan sebelum cukup siap untuk berkeluarga.
Usai mendengarkan cerita, saya coba manfaatkan sedikit tenaga saya untuk membersihkan lokasi dan memotong beberapa batang besi. Memang sedari kecil saya tidak asing lagi dengan peralatan tukang. Beberapa peralatan dari Sekolah Tukang milik misi di Larantuka tersedia di rumah dan sering saya gunakan.
Petang harinya, datang lagi teman saya. Sesuai rencana kami sebelumnya, sore itu kami akan mandi di sebuah mata air kecil di barat laut tidak jauh dari lokasi proyek. Di sekitar mata air itu pun tersedia banyak sayuran daun singkong dan kami akan memetiknya untuk perbekalan makan para tukang. Saya pun lebih memilih tidur di kem bersama para tukang dan menjadi tukang masak dadakan. Singkatnya, keesokan harinya kami pulang kembali ke Waiwadan menunggang kuda melintasi jalan yang sama.
Kini, teman saya yang tempo itu menunggang kuda di punggung bukit menuju Ilepati telah menjadi PNS dan mengabdi di luar pulau Adonara. Sementara saya sendiri selama sembilan tahun menjadi tenaga swasta di sejumlah PLTD seputar NTT dan kini telah pula menjadi guru PNS di luar Kabupaten.
Tahun 2018 yang lalu, saat cuti tahunan dari PLTD Atambua, saya sempat pulang kampung. Ketika tiba di Adonara dan usai suatu urusan di Larantuka, saya mendadak memutuskan untuk melakukan perjalanan lintas bukit dengan roda dua menuju Adonara Tengah. Saya mulai dari Kenariblolong menuju Wolo, lanjut ke Riangpetung, menuju Watodei, Era, Ritawolo dan kembali ke desa saya.
Desa Ilepati kini saya saksikan telah berubah banyak menjadi jauh lebih maju. Jalan penghubung ke Wolo dan Watodei sudah tertata baik dengan perkerasan rabat beton. Sungguh sangat nyaman dilintasi. Warga tampak sedang melakukan rabat jalan ke arah Demondei, yang karenanya tidak bisa dilintasi. Jadi, saya mengikuti jalan menurun langsung menuju Era. Di sini saya berpapasan dengan begitu banyak pelajar yang pulang dari SMP Negeri Lembah Seburi. Jangkauan jarak ke sekolah memang tidak terlalu jauh, namun kesulitannya ada di fasilitas infrastruktur jalan.
Saya sangat bersyukur karena warga setempat tak kenal lelah membangun infrastruktur terutama akses jalan yang memudahkan lalulintas masuk dan keluar dari wilayah desa ini. Dengan mudahnya akses, maka sejumlah besar kegiatan usaha serta bisnis masyarakat akan lebih terbantu. Kegiatan silaturahmi dengan sahabat kenalan pun akan lebih mudah tidak saja lewat udara tapi juga saling berkunjung mempererat tali persaudaraan. (Simpet Soge).